Salah satu aspek bidang  kesuksesan Nabi Muhammad salam keduaniaan, yang banyak dibahas para ahli  sejarah, adalah keprofesionalan dalam berdagang (wirausahawan). Akan  tetapi, ironi terjadi di kalangan ulama agama, yang hampir tidak pernah  memiliki perhatian sisi Rasulullah tersebut.
Di dalam banyak literatur  sejarah disebutkan bahwa pada masa mudanya, Nabi Muhammad pernah  mendapatkan julukan sebagai Al-Amin atau Ash-Shiddiq yang berarti dapat  dipercaya atau benar. Jika dihitung secara kasar, lebih dari 20 tahun,  Nabi Muhammad berkiprah di bidang perdagangan. Karenanya. beliau sangat  dikenal di Yaman, Syiria, Basrah, Iraq, Yordania, dan kota-kota  perdagangan di Jazirah Arab. Ini adalah pengalaman panjang bagi seorang  pedagang pada masanya. Bentuk-bentuk transaksi dari berbagai kota itu,  tentu sangat mempengaruhi perilaku beliau dalam menjalankan  perdagangannya. Tentu saja, tidak mudah untuk berperilaku qonaah,  menjaga prinsip kejujuran dan keadilan dalam berbisnis semacam itu.
Anehnya, penjelasan atau uraian  yang mendalam tentang pengalaman dan keterampilan dagang yang dimiliki  oleh Nabi Muhammad tidak banyak. Apa penyebabnya? Inilah yang semestinya  mendapat perhatian oleh para ulama maupun para bisnisman muslim,  sehingga mampu mencontohnya. Bayangkan saja, sebagai orang yang masih  muda, sebelum umur 25 tahun, ia telah diangkat Khadijah, salah satu  saudagar kaya di Mekkah, untuk menjadi mudharib (fund manager) atas  semua harta kekayaannya. Nah, setelah itulah, Rasulullah kerap melakukan  lawatan bisnis, seperti ke Busrah di Syiria, Habsyah, Jorasy, Bahrain,  Abisinia, dan Yaman. Beliau selalu ditemani Maesaroh, salah satu  pembantu Khadijah.
Setelah akhirnya menikah dengan  Khadijah, di pertengahan usia 30-an, Nabi Muhammad banyak terlibat dalam  bidang perdagangan, sehingga pernah datang ke Najd dan Najran. Dalam  sebuah riwayat, Rasulullah juga pernah terlibat dalam urusan dagang yang  besar, terutama saat musim haji, di Festival Dagang Ukaz dan Dzul  Majaz. Pada musim-musim yang lain, beliau juga sangat sibuk dengan  perdagangan grosir di pasar-pasar kota Makkah, sebuah perdagangan yang  cukup menguntungkan.
Dalam perilaku bisnisnya, Nabi  Muhammad sudah menerapkan nilai-nilai manajemen yang canggih. Secara  sungguh-sungguh, beliau mengelola transaksi perdagangannya serta  hubungan bisnisnya, sehingga para mitra bisnisnya selalu merasa puas  saat bertransaksi dengan beliau. 
Afzalurrahman mencatata bahwa  Nabi Muhammad adalah seorang pedagang yang jujur dan adil  dalam membuat  perjanjian bisnis. Beliau tidak pernah membuat para pelanggannya  komplen dan selalu menjaga  janjinya, serta menyerahkan barang-barang  pesanannya tepat waktu. Beliau selalu berperilaku bisnis dengan penuh  tanggung jawabnya dan memiliki integritas tinggi di mata siapapun.  Reputasi beliau sebagai seorang pedagang yang jujur dan adil telah  dikenal luas sejak masih muda.
Beberapa kalangan bahkan  berpendapat bahwa Muhammad adalah pelopor perdagangan yang menjunjung  tinggi prinsip kejujuran serta transaksi bisnis yang fair dan sehat.  Beliau tak segan-segan menyosialisasikan prinsip tersebut dalam bentuk  perilaku keseharian secara langsung dan statemen yang tegas kepada para  pedagang lain sebagai pendidikan dan pelajaran. Bahkan, pada saat beliau  menjadi khalifah di Madinah, law enforcement benar-benar ditegakkan  kepada para pelaku bisnis yang nakal. Secara bertahap, beliau juga  memperkenalkan asas facta sur servanda  yang kita kenal sebagai asas  utama dalam hukum perdata dan perjanjian. Kekuasaan tertinggi untuk  melakukan transaksi ada di tangan para pihak yang melakukan perjanjian,  dan dibangun atas dasar saling setuju, “Sesungguhnya transaksi jual-beli  itu (wajib) didasarkan atas saling setuju (ridla)….”
Itulah dasar-dasar etika dan  menejemen bisnis yang kemudian mendapat legitimasi keagamaan dari Allah  melalui proses diangkatnya beliau (Muhammad) menjadi Nabi. Akan tetapi,  prinsip-prinsip etika bisnis yang diwariskan kepada umatnya itu baru  mendapat pembenaran akademis oleh kalangan pakar ekonomi pada akhir abad  ke-20 hingga sekarang. Para pakar bisnis menyatakan bahwa perilaku  bisnis modern bertujuan memenuhi keinginan pelanggan atau kepuasan  konsumen (costumer satisfaction), melayani dengan baik sekali (service excellent),  menempatkan kompetensi dengan tepat, mengutamakan efisiensi,  mengedepaknan transparansi, serta bersaingan dengan sehat, dan jujur.  Dan, semua itu telah melekat dalam pribadi serta etika bisnis Muhammad  sejak masih muda.
Para penulis sejarah juga mengungkapkan bahwa Muhammad adalah debitor yang baik. Beliau tidak pernah menunjukkan wanprestasi (default)  kepada kreditornya. Setiap utang yang beliau pinjam selalu dibayar  sebelum jatuh tempo. Hal ini beliau lakukan terhadap setiap mitra  usahanya, termasuk pinjaman 40 dirham dari Abdullah Ibn Abi Rabi’. Tak  hanya menepati janji, Muhammad bahkan mengembalikan utangnya lebih besar  dari nilai pokok pinjaman. Hal itu beliau lakukan sebagai penghargaan  kepada kreditur yang telah bermurah hati meminjamkan modal usaha. Dalam  sebuah riwayat beliau pernah meminjam seekor unta yang masih muda, Pada  saatnya mengembalikan kepada pemiliknya, beliau meminta Abu Rafi’ agar  mengembalikan utang untanya dengan seekor unta bagus yang umurnya tujuh  tahun. “Berikan padanya unta tersebut, sebab orang yang paling utama adalah orang yang menebus utangnya dengan cara yang paling baik” (H.R.Muslim).
Jadi, jika kita melihat uraian  di atas, kesimpulan awalnya adalah Muhammad seorang pedagang yang  menerapkan prinsip-prinsip etika berbisnis modern. Hal ini tentu sangat  maju di zamannya. Akan tetapi, model atau teladan yang telah diberikan  Muhammad tersebut, ternyata tak banyak dikaji oleh para ahli ekonomi,  maupun para pedagang muslim khususnya.
sumber : www.bisnis-berakhlak.blogspot.com
sumber : www.bisnis-berakhlak.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar